Ads Top

Mimpi Buruk | Cerpen



MIMPI BURUK 
Oleh : Panca 

    Di antara lantunan ayat-ayat malam ini. Aku duduk memeluk erat kedua lutut sambil melihat langit yang tak secerah biasanya. Rasanya meskipun tak lebat hujan akan turun nanti. Tubuhku yang kecil hanya bisa meringkuk di atas hamparan anyaman daun pandan ditemani sebatang lilin yang kutemukan siang tadi di toko Koh Ajong. Aku ingat betul kejadian tadi siang, andai saja aku tak berada di sana, aku yakin luka di tangan kiriku ini tak pernah ada. Namun kejadian itu begitu cepat terjadi. Preman-preman itu menyabetkan pisaunya ke lenganku saat aku berusaha melawan. Mereka meminta jatah setoran hari ini tapi aku tak mau memberinya. Memang keterlaluan mereka. Setiap anak gelandangan tak luput diriku selalu menjadi sasaran seolah daerah ini milik mereka. “Polisi! Polisi” Mereka lari dan mengumpat seenak mulut mereka di jalanan. Aku bersyukur hal buruk siang tadi tak berlanjut setelah Koh Ajong datang.
 
    Firasatku benar, langit yang dari tadi memeluk mendung dengan erat tak kuasa menahannya lagi. Pikirku tadi hanya akan gerimis, namun air langit datang begitu deras dan cukup untuk menyapa tubuhku dan lilin yang tinggal setengah inipun ikut padam disentuhnya. Lengan kiriku semakin pedih karena basah, sambil menahan sakit aku menggulung tikar yang tak utuh lagi untuk beranjak menuju pelataran toko emas di seberang jalan.

    Kesabaranku diuji malam ini. Sembari menahan sakit dan dinginnya air hujan sebelum sampai di toko, aku harus berjalan lebih jauh lagi mencari tempat meneduh, sebab anak-anak jalanan itu datang lebih dulu dan melarangku berteduh di sana. Kepalaku pening, lampu jalanan itu kulihat semakin memudar. Entah apa yang terjadi padaku saat ini, pikirku semua ini akan selesai besok pagi setelah aku bangun dari tidur.
 
    “Hayalan!” Aku berteriak kencang.

    “Masa bodo. Mereka tak memperdulikanku.”

    Apa mereka buta. Sungguh tak adil hidup ini. Mana janji-janji itu. Mana malaikat malaikat yang katanya senantiasa menemani dan mendoakanku. Ini semua bohong. Bodoh aku telah mempercayai ini semua.
  
     “Ya Tuhaaan, apa aku terlalu kotor dihadapan-Mu hingga Kau takdirkan menderita seperti ini? Apa Kau...”

    Kata-kataku terhenti oleh petir yang menyambar pohon di dekatku. Beruntung aku cepat lari menjauh dari pohon itu, seandainya satu langkah lagi tadi aku berjalan, entah jadi apa aku sekarang.

     Tak selang beberapa waktu aku beranjak, pos kamling di ujung gang kujadikan tempat untuk tidur dan berharap selepas bangun nanti hidupku akan berubah. Cepat sekali mata terlelap, dan hujan semakin deras mengguyur kota.

 *** 

     “Siapa kau? Di mana aku sekarang? Apa yang kau inginkan dariku?”

     Pertanyaan pertanyan kebingungan ku lontarkan pada sesosok orang tua berjubah coklat yang dari tadi duduk takzim sambil memandangiku.

    “Tak mungkin orang tua ini menggendongku hingga sampai di sini. Berjalan saja ia harus pakai tongkat, apalagi menggedong. Bisa-bisa patah punggung orang tua ini,” kataku dalam hati.

     Tak terhitung sudah berapa banyak aku bertanya. Menyebalkan, orang tua ini tetap diam dan hanya memandangku saja.

     “Apa untungnya melihatku seperti itu? Kau ini siapa? Di mana aku sekarang?” Pertanyaan yang sama aku lontarkan lagi padanya.

    Entah orang tua ini mungkin tuli. Ku putuskan pergi menjauh darinya untuk menyusuri daerah asing yang sama sekali aku belum pernah ke sini sebelumnya. Aku merasa aneh dengan suasana di daerah ini. Rumah-rumah yang kosong, pohon-pohon tumbang, jalanan yang sepi, tak ada satu pun pengendara lewat. Serasa di tempat seluas ini hanya ada dua makhluk hidup, yaitu aku dan orang tua itu saja.

     Sebentar, pandanganku terpusat pada pos kamling yang ada di ujung gang, di pos itu aku lihat seorang anak yang tertidur sambil memegang lengan kiri yang terluka. Dia tertidur pulas, padahal saat ini hari sudah siang, udara di sini pun cukup panas tapi anak ini dengan lelapnya tertidur seolah hari masih malam. Aku kembali menghampiri orang tua itu, pikirku hanya dia yang mengerti dan bisa menjawab pertanyaan ku ini.

     “Kayaknya di sini tempat orang tua tadi duduk, tapi ke mana dia sekarang? Sungguh aneh keadaan ini, suasana yang sepi, ditambah anak yang tidur pulas, kakek-kakek misterius yang tiba-tiba menghilang, sebenarnya aku ini ada di mana?” Perasaanku dipenuhi oleh rasa bingung yang sangat.

     Aku berjalan lagi memutari daerah aneh ini, di depanku ada dua jalan yang membingungkan. Jalan ini bercabang dua seperti cabang batang ketapel anak-anak. Suara keramaian terdengar dari jalan sebelah kanan, namun jalan sebelahnya sangat sepi seperti daerah ini. Mungkin di sana banyak orang yang bisa menjelaskan tentang semua ini. Kuputuskan mengambil jalan sebelah kanan, entah dari mana saat kaki ku mulai menginjak badan jalan yang mencabang tersebut sebuah cahaya yang menyilaukan membuat mataku kabur dan tak bisa melihat sekeliling.

     Sungguh gila ini semua, sebenarnya apa yang terjadi. Sama seperti tadi aku terus berbicara dan bertanya-tanya sendiri tentang keadaan ini. Seketika suara-suara ramai itu lenyap, seakan aku masuk di ruang yang berbeda. Putih. Serba putih, tak sama dengan daerah tadi. Di sini luas, namun hanya hamparan putih yang terlihat. Aku berteriak, bertanya tanya. Namun sungguh aneh, aku berteriak sekuat tenaga, namun tak sebisikpun suaraku terdengar. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi pada diriku saat ini. Seolah membisu.
  
     “Kau Asar, nak?”
  
     Ada suara, dari mana suara itu, dari mana dia tahu namaku, tak ada satu pun orang di sini kecuali aku, suara siapa itu. Rasa resah dan takut pun seakan menyelinap ke dalam tubuhku, semua keberanianku lenyap berganti ketakutan yang mendalam, aku lemas hingga jatuh tersungkur. Suara itu kembali terdengar.

     “Bangunlah, nak. Bangunlah. Kau aman di sini, tetaplah di sini menetap bersamaku.”
     “Tidak, aku tidak mau. Kau ini siapa? Aku ingin pulang, aku tak mau di sini!” Dengan nada tinggi yang diselingi rasa takut aku menjawab suara aneh itu.

     Ini semua seperti percakapan batin. Aku berteriak namun tak ada suara yang keluar dari mulutku. Tapi, seakan di sini ada orang yang dapat mendengar perkataanku tadi.

     “Tidakkah kau ingin bahagia, nak? Tetaplah di sini bersamaku, niscaya kau akan bahagia.”

     Dia menawariku kebahagiaan, tapi apa yang akan ia berikan dengan tempat seperti ini, melihat wajahnya saja aku tak pernah, hanya suara aneh yang datang entah dari mana,

     “Ah, ini hanya muslihatnya saja,” batinku.
    “Tidak, siapapun dirimu, apapun maumu dari ku, aku tak peduli, aku ingin pulang!” Kuteriakkan lagi padanya “Aku ingiinn puuulaaaaang.”

 *** 
Ditengah malam yang dingin aku terbangun, tak biasanya kualami mimpi buruk seperti ini, sampai-sampai terasa nyata sekali. Keringat dingin mengalir di kening dan pipi. Apa arti mimpi ini, mimpinya aneh sekali. Aku tak begitu ingat runtutan mimpi tadi, hanya saja ketakutan ini sangat terasa di tubuhku. Bahkan sakit di lengan kiri ini sempat terlupa.

 -TAMAT-

 TULUNGAGUNG, 03 JULI 2015.

6 komentar:

  1. Spasi antar paragraf diperhatiin, Ca. Ditunggu karya selanjutnya! 👌

    BalasHapus
    Balasan
    1. Woh iya ya. Capek bacanya kalo kayak gitu. 😆

      Hapus
  2. Wow keren... lanjutkan nak :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi lo kang kunjungannya, blog berantakan kaya gini, maaf gak begitu aktif soalnya. 😁

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.